Keluarga Besar LPM Pena Kampus Mengucapkan Selamat Tahun Baru Islam 1433H

Sabtu, 26 November 2011

Paradoks Kesejahteraan dan Moralitas Guru*)

Oleh Muh. Fahrudin Alawi
Oemar bakri…Oemar Bakri…pegawai negeri..
Oemar Bakri..Oemar Bakri..40 tahun mengabdi
jadi guru jujur berbakti memang makan hati..
Oemar Bakri..Oemar Bakri..banyak ciptakan menteri..
Oemar Bakri…Oemar Bakri..bikin otak orang seperti otak Habibi..
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri..  (Iwan Fals)
Lagu ini mungkin  agak jarang terdengar di telinga kita sekarang ini. Beda jauh dengan situasi di tahun 1980-an. Lagu yang dipopulerkan oleh salah seorang musisi legendaris kebanggaan negeri ini menjadi simbol  pendobrak kekuasaan atas nasib guru yang tak kunjung mendapat perhatian pemerintah saat itu. Melalui lirik lagunya, Iwan Fals ingin mengingatkan pemerintah akan betapa vitalnya peran guru dalam memajukan peradaban suatu bangsa. Sebab, saat itu guru tidak memiliki kemampuan untuk menuntut lebih akibat rezim otoriter Orde Baru. Masyarakat meyakini terpuruknya dunia pendidikan bangsa ini diakibatkan oleh rendahnya perhatian dan prioritas pemerintah terhadap sektor  pendidikan. Salah satunya kebijakan perihal kesejahteraan guru.
Tak bisa dipungkiri profesi guru selama ini cenderung kurang diminati oleh masyarakat. Daya tarik  profesi guru masih kalah jauh dibanding profesi lainnya, seperti akuntan, polisi, jaksa, dan lain sebaganya.  Tentu bisa dimaklumi jika takarannya adalah materi. Sebab kondisi kesejahteraan guru, khusunya sebelum reformasi memang persis seperti yang digambarkan oleh Iwan Fals melalui sosok guru Oemar Bakri. Guru sebagai tulang punggung pencetak lahirnya kaum-kaum intelektual dinapikan keberadaannya. Bahkan dipopulerkan pula istilah pahlawan tanpa tanda jasa yang disematkan pada sang guru. Predikat pahlawan tanpa tanda jasa justru telah menghegemoni guru untuk tidak mempersoalkan kesejahteraannya dan pasrah menjalani profesinya meski dalam keterbatasan.    
                Berakhirnya rezim Orde Baru dan dimulainya era reformasi menjadi titik tolak perbaikan nasib guru. Langkah pemerintah pascareformasi patut diapresiasi. Sadar sektor pendidikan tidak mendapat porsi memadai dari segi pos anggaran, pemerintah menaikkan anggaran pendidikan menjadi 20 % yang bersumber dari APBN dan APBD. Bukan sebatas itu saja. Mulai tahun 2005, pemerintah bahkan meningkatkan kesejahteraan guru dengan menaikkan gaji mereka setelah mengikuti program sertifikasi guru. Guru-guru yang sudah lulus sertifikasi mendapat tunjangan satu kali gaji pokok. Dengan adanya sertifikasi menjadi jawaban keprihatinan masyarakat  atas  nasib guru seperti yang dikatakan Iwan Fals lewat lagunya. Terlepas dari plus-minus pelaksanaan program sertifikasi, setidaknya nasib guru jadi lebih menjanjikan dibanding periode sebelumnya.  Dan tidak kalah penting adalah kualitas pendidikan diharapkan meningkat karena guru semakin fokus mengajar anak didiknya. Guru tidak lagi harus memikirkan penghasilan sampingan karena kesejahteraannya sudah dijamin oleh negara.
              Kesejahteraan bukan tafsir tunggal
keprihatinan akan nasib kesejahteraan guru nampaknya lama-kelamaan akan menjadi cerita masa lalu.  Setidaknya dilihat dari sisi kebijakan yang diberlakukan pemerintah. Meski tidak bisa dipungkiri masih banyak terjadi ketimpangan antara guru yang sudah disertifikasi dan belum. Mulai dari proses rekrutmen sampai dengan pembagian tugas mengajar di sekolah.  
Ditingkatkannya kesejahteraan guru tidak lantas membuat persoalan akut dunia pendidikan selesai. Merujuk serangkaian kasus-kasus di dunia pendidikan akhir-akhir ini di luar kesejahteraan guru membuat kita miris. Hipotesis yang mengatakan terpuruknya pendidikan akibat minimnya anggaran sepertinya perlu ditinjau ulang. Di balik kesejahteraan guru yang memadai, kasus demi kasus terus terjadi di institusi pendidikan. Khususnya di Nusa Tenggara Barat. Mulai dari pemukulan murid terhadap guru dan sebaliknya, beberapa kepala sekolah yang diperiksa aparat penegak hukum karena dugaan penyimpangan anggaran dana alokasi khusus sampai dengan sekolah yang melegalkan pungutan liar. Bahkan satu kasus terbaru membuat kita geleng-geleng kepala saat ada oknum kepala sekolah yang diduga melakukan penggelapan dana bantuan siswa miskin atau BSM (Suara NTB,22/10/2011).
Sulit dipercaya secara akal sehat atas peristiwa ini. Bagaimana bisa seorang pendidik yang tiap hari mendidik justru ingkar dengan nilai-nilai yang ditanamkannya selama bertahun-tahun ke peserta didik. Bahkan tega merenggut hak anak didiknya sendiri. Perilaku semacam ini secara tidak langsung telah merampas masa depan generasi penerus bangsa.    
Sungguh di luar nalar akal sehat dan nurani kemanusiaan. Lembaga pendidikan yang selama ini menjadi medium transformasi pengetahuan dan pembentukan karakter generasi penerus bangsa disusupi praktek amoral. Sangat ironis melihat kemuliaan profesi guru dicederai ulah segelintir oknum yang tidak konsisten memegang nilai-nilai luhur tugasnya mendidik anak bangsa. Pilihan untuk terjun menekuni profesi guru memang bukan persoalan materi semata. Tapi juga menyangkut panggilan hidup untuk mengabdikan diri memanusiakan manusia.        
Apabila lembaga pendidikan terus menjadi tempat praktek amoral, maka Kehancuran suatu bangsa tinggal menunggu waktu. Erosi perilaku manusia sebagai mahluk berbudaya akan terjadi di mana-mana. Selama ini kita kurang memperhatikan atau bahkan munafik pada diri sendiri dalam mempoisisikan sektor pendidikan. Menara gading bernama sekolah, madrasah, universitas dan lain sebagainya kita anggap tempat suci nan keramat. Seolah lembaga pendidikan tidak memberi ruang terjadinya perilaku menyimpang dari norma. Padahal, menjadi tugas bersama untuk menjaga jangan sampai terjadi lagi serangkaian kasus amoral seperti telah dikemukakan sebelumnya. 
Benahi Sistem Pendidikan
Tidak bisa kita menganggap persoalan pendidikan otomatis selesai apabila guru sudah terjamin kesejahteraannya atau saat sekolah mau digratiskan jelang musim pilkada. Tentu tidak sesederhana itu. Selama sistem yang ada masih memberi ruang terjadinya praktek amoral, kita tidak bisa berharap kualitas pendidikan akan meningkat. Perlu juga kiranya dicatat berdasarkan data Education for All (EFA) Global Monitroring Report  2011 yang dikeluarkan UNESCO, indeks pembangunan pendidikan Indonesia berada pada urutan 69 dari 127 negara yang disurvei. Masih kalah dibanding negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 65) dan Brunei Darussalam (peringkat 34). Artinya, banyak hal yang harus dibenahi selain kesejahteraan guru.
 Mengacu pada serangkaian kasus di atas dan peringkat pendidikan kita menimbulkan pertanyaan tunggal. Apa yang salah dengan sistem pendidikan Indonesia selama ini? Pemerintah dan masyarakat harus berbenah. Jangan hanya melihat pendidikan dari kaca mata konstitusional. Negara punya perundang-undangan yang banyak, tapi belum mampu menjawab persoalan pendidikan hari ini. Situasi semacam ini tentu sebuah ironi.
Regulasi perundangan-undangan sektor pendidikan harus menggunakan pendekatan kultural. Jangan hanya menggunakan pendekatan pragmatis dan mengadopsi seutuhnya dari luar negeri. Apa yang diterapkan di luar sana belum tentu sesuai dengan kultur bangsa kita. Banyak sisi dari sektor pendidikan yang harus dibenahi. Mulai dari kurikulum, anggaran, sarana prasarana, rekrutmen tenaga pendidik, dan lain sebagainya. Semua harus dimulai dari sekarang. Jangan sampai tidak ada pelajaran yang dapat diambil dari permasalahan-permasalahan sebelumnya. Afalaa tatafaqqaru (mengapa kamu tidak berpikir)? Sindir Allah SWT dalam firmanNya.              


*)tulisan ini dimuat di harian Suara NTB, November 2011