Keluarga Besar LPM Pena Kampus Mengucapkan Selamat Tahun Baru Islam 1433H

Sabtu, 26 November 2011

Revitalisasi Peran dan Fungsi Komite Sekolah*)

Oleh Muh. Fahrudin A
Larangan dari pemerintah kota mataram terhadap sekolah untuk melakukan pungutan terutama bagi siswa miskin tidak digubris oleh sekolah tertentu. Dengan mengatasnamakan kesepakatan komite, sekolah terus melakukan pungutan. Sementara pemerintah kota hanya  bersuara keras menyalahkan sekolah lewat media. Akan tetapi belum ada langkah konkret di lapangan untuk menindaklanjuti masalah ini.
 Subsisidi pemerintah atas penyelenggaraan pendidikan yang tidak mencukupi menjadi penyebab sekolah melakukan pungutan terhadap siswa. Fenomena menarik terjadi di kota Mataram. Meski sudah ada peraturan walikota (perwal.) yang melarang sekolah memungut iuran dari siswa, sekolah tertentu tetap melakukan pungutan tanpa kecuali. Pihak sekolah pun berdalih jika pemungutan iuran dilakukan atas inisiatif dan keputusan komite sekolah guna menunjang proses pembelajaran. Dengan mengatasnamakan komite, sekolah tertentu nekat mengabaikan perwal. tentang larangan melakukan pungutan. Menarik kemudian untuk melihat subtansi keberadaan komite sekolah. Bagaimana sebenarnya peran dan fungsi  komite sekolah?
Hampir setiap institusi pendidikan (baca;sekolah) memiliki komite. Komite pada dasarnya adalah organisasi perkumpulan wali murid yang berfungsi memberikan perumusan dan pengawasan atas kebijakan sekolah di luar program pemerintah. Komite memiliki pengurus tersendiri dan merepresentasikan wali murid. Adanya komite dihajatkan untuk mengakomodir aspirasi wali murid, terutama dalam hal pembiayaan sekolah guna perbaikan kualitas. Dalam aturan pembiayaan yang dikeluarkan pemerintah, keberadan komite memang dibenarkan. Dalam pembiayaan sekolah dikenal istilah biaya investasi. Biaya investasi meliputi biaya yang dikeluarkan oleh wali murid guna penyediaan sarana prasarana pengembangan sumber daya manusia.
Pertanyaannya kemudian apakah keberadaan komite sudah benar-benar merepresentasikan aspirasi wali murid? Atau jangan-jangan komite hanya pemberi “stempel” atas kebijakan kepala sekolah terkait pembiayaan yang bersumber dari wali murid? Melihat realitas yang terjadi di sekolah-sekolah saat ini, keberadaan komite masih jauh dari spirit pembentukanya. Sebagian komite menjadi mitra pemberi “restu” kepada sekolah untuk melakukan pungutan. Ketika ada komplain dari pemerintah dan masyarakat, sekolah dengan mudah bersembunyi di balik ketiak komite. Komite menjadi alat legitimasi bagi sekolah untuk melahirkan kebijakan-kebijakan tertentu meski kadang ditentang oleh pemerintah dan masyarakat. 
Ada tiga hal penting yang bisa dijadikan catatan atas keberadaan komite dan layak untuk dipersoalkan. Pertama, perihal komposisi komite sekolah. Mulai dari ketua dan jajaran pengurus di bawahnya. Idealnya komite sekolah diketuai oleh wali murid yang anaknya masih aktif bersekolah. Begitu juga dengan personil pengurus lainnya. Namun fakta di lapangan kerap menunjukkan kenyataan berbeda. Ketua komite dijabat oleh individu yang anaknya sudah tidak aktif lagi bersekolah. Akan tetapi karena terus-terusan bisa diajak berkompromi untuk melakukan kebijakan yang menguntungkan sekolah, maka yang bersangkutan tetap dipertahankan. Fenomena ini sudah bukan menjadi rahasia dan dilakukan hampir di semua sekolah.
Kedua, terkait dengan masa kerja pengurus komite. Sampai sejauh ini hampir tidak ada satupun komite sekolah yang memiliki batas kerja. Seperti yang dikemukakan di atas, komite yang sudah ada akan terus dipertahankan oleh pihak sekolah selama masih bisa sejalan dengan kebijakan kepala sekolah. Mari kita amati di lapangan. Dalam rentang waktu lima tahun, berapa kali dilakukan rotasi kepala sekolah? Jawabannya tentu beragam. Ada yang sekali setahun, dua kali setahun, bahkan ada yang sekali dalam lima tahun. Akan tetapi kita belum pernah mendengar pergantian pengurus komite dalam rentang waktu tertentu. Sangat jarang ditemukan. Pengecualian terjadi apabila ketua komite mengundurkan diri secara sukarela atau meninggal dunia.
Ketiga, berkaitan dengan mekanisme kerja pengurus dan anggota. Sampai saat ini mekanisme kerja komite sekolah tidak tetap dan teratur. Yang lazim dilakukan adalah komite melakukan pertemuan dengan semua wali murid dan sekolah satu kali dalam satu semester. Bahkan ada yang satu kali dalam satu tahun. Biasanya dilakukan setiap tahun ajaran baru dan terkait dengan kenaikan iuran. Mulai dari iuran pembangunan, SPP, dan beragam istilah iuran lainnya. Isi pertemuan pun bukan untuk merumuskan besaran iuran yang sesuai dengan keadaan ekonomi wali murid. Akan tetapi berupa sosialisasi kebijakan (kenaikan iuran) kepada wali murid setelah terlebih dahulu pengurus komite dan sekolah melakukan transaksi perumusan dan pengesahan atas kebijakan tersebut.
Desain Ulang Komite Sekolah
Merujuk fakta-fakta di lapangan, maka harus dilakukan revitalisasi peran komite sekolah oleh semua stakeholder. Mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah, dan masyarakat. Semua komponen harus duduk bersama untuk membahas masalah ini dan merumuskan solusinya. Komite harus dibuatkan regulasi yang tepat agar bisa berperan maksimal sesuai spirit keberadaanya. Dengan adanya regulasi diharapkan dapat tercapai kesepakatan pendanaan antara semua stakeholder untuk memajukan institusi pendidikan sesuai dengan kapasitas masing-masing.                    
 Untuk merumuskan aturan main tentang keberadaan komite, maka haruslah diperhatikan  hal-hal yang layak dipersoalkan sesuai uraian di atas. Pengurus komite, terutama pengurus inti wajib berasal dari wali murid yang anaknya masih aktif bersekolah. Asumsinya adalah jika ketua komite berasal dari wali murid yang anaknya masih aktif sekolah, maka akan bisa memperkirakan efek dari tiap kebijakan yang diambil. Karena selain menjadi pembuat kebijakan, secara otomatis juga akan menjadi pihak yang menjalankannya. Dengan demikian komite akan berhati-hati dalam membuat kebijakan supaya tidak menjadi beban untuk wali murid.
Selain itu ketua komite juga harus diberi batas waktu menjabat. Maksimal ketua komite bisa menjabat selama tiga tahun untuk sekolah menengah. Ini merujuk pada waktu normal usia sekolah Asumsinya adalah jika ketua komite memiliki anak duduk di kelas satu, maka dia akan berhenti menjadi ketua setelah anaknya lulus. Sistem kerja komite juga tidak kalah penting. Jangan hanya bertemu di awal semester atau awal tahun ajaran baru untuk pembahasan kenaikan iruran saja. Bila perlu komite melakukan pertemuan rutin secara berkala untuk mengevaluasi kinerja sekolah. Hasil dari evaluasi ini nanti bisa dijadikan bahan laporan dari masyarakat ke pemerintah.
Terakhir kita perlu merubah mindset berpikir. Komite jangan selamanya diidentikkan dengan urusan finansial lembaga pendidikan semata. Selama ini seolah-olah komite hanya berperan jika ada kenaikan iuran sekolah saja. Area kerja komite sekolah sebenarnya jauh lebih luas dari sekedar urusan finansial. Banyak hal lain yang bisa dilakukan asal punya komitmen tinggi. Komite bisa merumuskan program yang dikelola tanpa melibatkan secara langsung pihak sekolah. Misalnya, dengan membuat panduan evaluasi orang tua terhadap situasi belajar anak didik saat di rumah. Ini penting mengingat waktu yang dimiliki guru untuk mendidik anak-anak sangat terbatas. Saat anak-anak berada di luar sekolah, maka orang tualah yang menggantikan peran guru. Panduan evaluasi ini bisa dijadikan “raport” yang diserahkan oleh wali murid ke guru. Hasil evaluasi ini nantinya bisa dijadikan pertimbangan bagi guru untuk menyesuaikan pendekatan dalam mengajar sesuai karakter peserta didik.          
                                                                                                                                               
*)tulisan ini dimuat di harian Suara NTB, edisi 27 Oktober 2011